Header Ads

Header ADS

KONSEF PAWANG HUJAN


Arti Hujan dalam Perspektif Islam: Rahmat, Azab, dan Do'alah yang Mengubah Takdir

NUR AULIA - Hujan selalu menjadi fenomena yang menakjubkan. Tetes-tetes air yang jatuh dari langit bukan sekadar gejala alam biasa, melainkan mengandung makna spiritual yang dalam. Dalam tradisi Islam, hujan tidak hanya dipandang sebagai siklus alamiah, tetapi juga tanda kuasa Allah, rahmat yang menyuburkan kehidupan, sekaligus peringatan berupa azab bagi mereka yang melampaui batas.


Makna Hujan dalam Bahasa Al-Qur’an

Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah untuk menggambarkan hujan dengan nuansa yang berbeda:

1. Mathar (Ù…َØ·َر)
Kata mathar merujuk pada sesuatu yang diturunkan dari langit, baik berupa air maupun batu sebagai bentuk azab.  Allah berfirman:
“Dan Kami turunkan hujan (azab) kepada mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-A‘raf: 84)
Dalam kisah Nabi Luth, hujan juga digambarkan sebagai batu berapi yang menimpa kaum yang ingkar (QS. Hud: 82).

2. Ghaits (غَÙŠْØ«)
Istilah ghaits menekankan hujan sebagai penolong di saat keputusasaan.
“Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa, lalu Dia tebarkan rahmat-Nya. Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syura: 28).

3. Ma’unzalaminas-sama’ (Ù…َا Ø£ُنزِÙ„َ Ù…ِÙ†َ السَّÙ…َاءِ)
Secara literal berarti air yang diturunkan dari langit. Ayat-ayat seperti (QS. Al-Baqarah: 22) dan (QS. Al-An‘am: 99) menegaskan fungsi air hujan dalam menghidupkan bumi, menumbuhkan tanaman, dan menjadi sumber kehidupan bagi manusia maupun hewan.


Proses Terjadinya Hujan dalam Dua Sudut Pandang

1. Perspektif Ilmu Pengetahuan

Ilmu fisika menjelaskan hujan sebagai bagian dari siklus hidrologi: air laut menguap, membentuk awan, lalu terkondensasi dan turun kembali sebagai hujan. Mekanisme ini bersifat alamiah, terukur, dan berulang.

2. Perspektif Islam

Islam menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa penuh menurunkan hujan (QS. Luqman: 34).  
Malaikat diperintahkan untuk mengatur awan dan membawa turunnya hujan. 
  • Qoza‘ah: gumpalan kecil awan.
  • Ra‘d: suara guruh.
  • Barq: kilatan petir.

Menurut riwayat Mujahid, guruh adalah suara malaikat, sedangkan kilat berasal dari sayap mereka saat menggiring awan. Awan yang kecil kemudian digabung menjadi muzallah, gumpalan besar dan gelap—hingga Allah izinkan hujan turun.


Hujan dalam Tradisi Jahiliyah

Sebelum Islam datang, bangsa Arab Jahiliyah percaya pada Nau—ramalan berbasis benda-benda langit yang diyakini mampu menurunkan hujan. Keyakinan ini dikategorikan sebagai syirik karena mengalihkan kuasa hujan dari Allah kepada sesuatu selain-Nya. Rasulullah ï·º bersabda:
“Tidak ada Adwa (penyakit menular tanpa izin Allah), Thiyarah (burung pembawa sial), Hammah, Safar, Nau, dan Gul dalam Islam.” (HR. Bukhari-Muslim).


Konsep Islam dalam Memahami Hujan

Dalam ajaran Islam, hujan memiliki dua wajah: sebagai rahmat dan sebagai azab.


Hujan sebagai Rahmat

  • Alat bersuci: untuk wudhu, mandi, dan membersihkan najis.
  • Sumber konsumsi: untuk minum dan bahan pangan.
  • Kesuburan bumi: menumbuhkan tanaman dan pepohonan (QS. Al-An‘am: 99).
  • Menghidupkan makhluk: hewan pun bergantung pada air hujan (QS. An-Nur: 45).

Hujan sebagai Azab

Al-Qur’an mencatat peristiwa ketika hujan berubah menjadi bencana:
“Dan Kami hujani mereka dengan hujan (azab), maka lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-A‘raf: 84).

Hujan bisa menjadi ujian yang mematikan, banjir, atau bencana, bergantung pada bagaimana manusia memperlakukan bumi dan menjaga ketaatan pada Allah.


Istisqa: Doa dan Shalat Memohon Hujan


Ketika kekeringan melanda, Islam memberikan tuntunan khusus yang disebut Istisqa—permohonan agar Allah menurunkan hujan.
  • Secara bahasa: berarti permintaan air.
  • Secara istilah fiqh: doa seorang hamba agar Allah mencurahkan hujan demi kebutuhan hidup.


Hukum shalat Istisqa adalah sunnah muakkad, dilakukan ketika terjadi kekeringan atau kekurangan air.

Tiga Tingkatan Cara Memohon Hujan
  1. Doa langsung: memohon kepada Allah, baik sendiri maupun berjamaah, di luar shalat.
  2. Doa setelah shalat: dilakukan setelah shalat wajib atau shalat sunnah.
  3. Shalat Istisqa: cara paling sempurna, dilaksanakan seperti shalat Ied (dua rakaat dengan khutbah).

Tahapan Pelaksanaan
  1. Pra-shalat: umat diseru untuk bertaubat, meninggalkan maksiat, memperbanyak sedekah, dan menjauhi kezhaliman. Tiga hari sebelumnya dianjurkan berpuasa.
  2. Hari pelaksanaan: umat berkumpul di lapangan atau masjid dengan pakaian sederhana, penuh khidmat, dan rasa tawadhu.
  3. Tata cara: dua rakaat dengan tujuh takbir di rakaat pertama, lima takbir di rakaat kedua, lalu dilanjutkan khutbah dua kali.

Nabi ï·º mengajarkan doa dan niat sederhana:
“Aku niat shalat sunnah Istisqa dua rakaat menjadi imam/makmum karena Allah Ta‘ala.”



Doa yang Dapat Mengubah Takdir

Islam mengajarkan bahwa doa memiliki kekuatan besar. Kekeringan bisa berubah menjadi kesuburan, azab bisa ditolak, dan hujan bisa turun deras hanya dengan permohonan tulus dari hamba-hamba Allah.

Hujan, dengan segala maknanya, adalah cermin hubungan manusia dengan Tuhannya. Ia bisa menjadi tanda kasih sayang, sekaligus teguran keras. Maka, setiap tetesnya seharusnya disambut dengan kesyukuran, doa, dan kesadaran bahwa di balik hujan ada kuasa Allah yang tak terbatas.

Hujan dalam Islam bukan sekadar fenomena meteorologi. Ia adalah tanda kekuasaan Allah—bisa jadi rahmat, bisa pula azab.


Dari kisah umat terdahulu hingga tuntunan shalat Istisqa, semua menegaskan bahwa hujan adalah anugerah yang harus disyukuri.

Islam mengajarkan: jangan sekali-kali menggantungkan hujan pada selain Allah. Karena hanya dengan izin-Nya langit meneteskan kehidupan.
Diberdayakan oleh Blogger.