Header Ads

Header ADS

HUKUM PAWANG HUJAN DALAM ISLAM


“Maka Aku berkata: Minta ampunlah kepada Tuhan kamu sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan hebat,” (QS. Nuh: 10–11).

NUR AULIA - Fenomena pawang hujan selalu menarik perhatian publik. Dari hajatan rakyat kecil, pesta pernikahan, hingga event kenegaraan, sosok pawang seringkali diminta jasanya untuk “menggeser” hujan. Di balik praktik itu, tersimpan kontroversi panjang: apakah pawang hujan sah menurut Islam, atau justru masuk ke ranah syirik?


Praktik Mistis Pawang Hujan

Metode pawang hujan di lapangan sangat beragam. Ada yang meminta kaleng bir untuk “minuman makhluk halus”, ada pula yang menyiapkan nasi rantang, payung hitam, atau batang rokok lintingan daun nipah. Beberapa pawang bahkan menggunakan mantra turun-temurun, melarang shahibul hajat mandi, atau melakukan ritual puasa ngebleng.

Ada juga yang mengaitkan ritual dengan ziarah ke makam leluhur, atau menancapkan sapu lidi dengan bawang merah dan cabai. Semua dilakukan dengan keyakinan.

Namun, metode ini menimbulkan pertanyaan serius: benarkah manusia mampu memindahkan hujan?


Hujan: Hak Prerogatif Allah

Dalam Islam, hujan adalah rahmat sekaligus ujian. Al-Qur’an dan hadits menegaskan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang mengetahui kapan, di mana, dan berapa kadar hujan akan turun.

Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:
Ada lima kunci ghaib yang tidak diketahui seorang pun kecuali Allah: tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi esok, tidak ada yang mengetahui apa yang terdapat dalam rahim, tidak ada satu jiwa pun yang tahu apa yang akan diperbuatnya esok, tidak ada satu jiwa pun yang tahu di bumi mana dia akan mati, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan turunnya hujan.
(HR. Al-Bukhari no. 1039).

Artinya, hujan sepenuhnya berada dalam genggaman Allah. Manusia tidak memiliki kuasa untuk menolak, mempercepat, ataupun memindahkannya. Jika mendung tebal menutupi suatu wilayah tapi hujan tidak turun, itu bukan karena pawang, melainkan karena Allah memang belum menurunkannya.


Pawang Hujan dalam Sirah Nabawi

Menariknya, praktik “mengalihkan hujan” pernah terjadi di zaman Nabi Muhammad SAW, namun caranya jauh berbeda dari praktik pawang tradisional.

Dalam Hadits Al-Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897 diceritakan, bahwa kota Madinah pernah dilanda hujan satu minggu berturut tanpa henti, dari hari Jum’at hingga Jum’at berikutnya.

Hingga seorang sahabat, memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar berdoa sehingga hujan bisa reda.

Sahabat tersebut berkata:
Ya Rasulullah, sekarang harta benda musnah, jalan-jalan terputus, mintalah kepada Allah, agar hujan ini reda.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pun mengangkat tangannya, lalu berdoa:
Ya Allah, jadikanlah hujan ini pindah ke sekitar kami, jangan menimpa kami. Ya Allah, pindahkanlah hujan ini ke atas gunung, lembah, dan tempat tumbuhnya pepohonan.
(HR. Bukhari-Muslim).
Hujan pun berpindah. Dari sini jelas, metode yang diajarkan Islam hanyalah doa, istighfar dan dzikir, bukan ritual mistis.


Hukum Pawang Hujan: Antara Syirik dan Ihtiar

Mayoritas ulama menilai, praktik pawang hujan yang menggunakan sesajen, mantra, atau perantara makhluk gaib adalah bentuk kesyirikan. Sebab, ia seolah menyaingi rububiyah Allah dengan mengklaim bisa memindahkan hujan atau mengetahui perkara ghaib.

Namun, ada catatan penting: ikhtiar memohon hujan dipindahkan melalui doa syar’i diperbolehkan. Sama seperti sholat istisqa’ untuk meminta hujan, doa memohon agar hujan dialihkan juga termasuk ibadah.

Analoginya mirip dengan peran dokter: seorang dokter hanya berusaha mengobati, bukan menyembuhkan. Keputusan akhir ada di tangan Allah. Demikian pula pawang hujan, ia hanya berdoa, bukan menentukan.


Metode Syariat: Doa, Dzikir, dan Shalawat

Islam menekankan doa sebagai jalan utama. Rasulullah SAW mencontohkan doa berikut saat memohon agar hujan dialihkan:

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا، وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالجِبَالِ وَالآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan atas kami! Ya Allah, turunkanlah hujan pada dataran tinggi, pegunungan, perbukitan, lembah-lembah dan tempat-tempat tumbuhnya tanaman.
(HR. Bukhari no. 1013–1014, Muslim no. 897).
Selain doa, dzikir dan memperbanyak shalawat menjadi amalan yang sangat dianjurkan agar doa dikabulkan. Dari Ubay bin Kaʿb RA diriwayatkan:
Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ: Wahai Rasulullah, aku sering bershalawat kepadamu. Berapa banyak sebaiknya aku jadikan waktuku untuk bershalawat kepadamu?”
Nabi ﷺ menjawab: “Sesukamu.”
Aku berkata: “Seperempat?” Nabi menjawab: “Sesukamu, tapi jika engkau tambah itu lebih baik bagimu.”
Aku berkata: “Setengah?” Nabi menjawab: “Sesukamu, tapi jika engkau tambah itu lebih baik bagimu.”
Aku berkata: “Dua pertiga?” Nabi menjawab: “Sesukamu, tapi jika engkau tambah itu lebih baik bagimu.”
Aku berkata: “Kalau begitu, akan aku jadikan seluruh doaku bershalawat kepadamu.”
Nabi ﷺ bersabda:
“Kalau begitu, keinginanmu akan dicukupi dan dosamu akan diampuni.
(HR. Tirmidzi, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah – dinilai hasan oleh Ibnu Hajar).



Doa dan Takdir: Keterkaitan yang Tak Terpisahkan

Lebih lanjut, untuk memperkuat keyakinan bahwa doa memiliki kuasa dalam mengubah takdir, kita tambahkan hadits dari Tsauban:

Dari Tsauban رضي الله عنه, Nabi ﷺ bersabda:
“لا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ، وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ”
“Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah umur kecuali (amal) kebajikan.”
(HR. Ahmad dari Tsauban).

Hadits ini sangat penting karena:

Menunjukkan bahwa doa bukan sekadar petisi kosong, tetapi sebab yang diijinkan Allah agar takdir bisa berubah ke arah yang kita harapkan.

Menegaskan bahwa amal kebaikan juga menjadi faktor dalam penambahan umur dan pengurangan dampak buruk dari takdir.

Menguatkan pemahaman bahwa manusia tidak bersikap fatalistis—berdoa dan beramal itu bagian dari tanggung jawab kita sebagai hamba Allah.


Catatan Akhir: Ihtiar dan Takdir

Hukum pawang hujan dalam Islam bisa diringkas dalam dua garis besar:
  • Pawang hujan dengan ritual mistis → haram, bahkan syirik.
  • Pawang hujan dengan doa, dzikir, dan shalawat → boleh, sebagai ikhtiar.


Allah memang sudah menetapkan takdir, namun doa bisa menjadi sebab perubahan. Hadits menunjukkan bahwa doa bisa menolak takdir buruk dan menyelamatkan seseorang dari keburukan; amal kebajikan bisa memperpanjang umur; dan shalawat menjadi wasilah agar hajat dikabulkan.

Seperti kata pepatah ulama:
“Doa adalah senjata orang beriman.”


Kesimpulan Syarat:

    1. Pawang hujan syar’i yang benar, pada hakikatnya hanyalah doa dan ikhtiar meminta kepada Allah, doa yang dicontohkan dan digunakan Nabi ﷺ
    2. Haram memberi garansi hasil karena hujan adalah kuasa dan hak Allah semata.
    3. Tidak boleh ada akad gambling dalam bentuk pembayaran bersyarat, misal: "jika hujan turun dibayar separuh, jika tidak hujan dibayar penuh", hal itu termasuk riba, gharar, dan maisir. Haram hukumnya.


Catatan :

Ketetapan Allah sesuatu yang pasti, namun
Ihtiar adalah kewajiban manusia untuk mencapai apa yang di niatkan.
Dan karena do'a lah yang dapat merubah takdir...
Diberdayakan oleh Blogger.